ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 1 HIV/AIDS
ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 1 HIV/AIDS
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom
yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus
HIV. Virusnya Human Immunodeficiency Virus HIV yaitu virus yang memperlemah
kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan
yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini
belum benar-benar bisa disembuhkan. HIV umumnya ditularkan melalui kontak
langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV,
seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.
Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral),
transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama
kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan
cairan-cairan tubuh tersebut.
Penyakit AIDS ini telah
menyebar ke berbagai negara di dunia. Bahkan menurut UNAIDS dan WHO
memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama
kali diakui tahun 1981, dan ini membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling
menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus
bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa
diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup pada tahun 2005 dan lebih
dari setengah juta (570.000) merupakan anak-anak. Secara global, antara 33,4
dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV.Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2
juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal
dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981.
Di Indonesia menurut
laporan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai dengan 31 Desember 2011 yang
dikeluarkan oleh Ditjen PP & PL, Kemenkes RI tanggal 29 Februari 2012
menunjukkan jumlah kasus AIDS sudah menembus angka 100.000. Jumlah kasus yang
sudah dilaporkan 106.758 yang terdiri atas 76.979 HIV dan 29.879 AIDS dengan
5.430 kamatian. Angka ini tidak mengherankan karena di awal tahun 2000-an
kalangan ahli epidemiologi sudah membuat estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia
yaitu berkisar antara 80.000 – 130.000. Dan sekarang Indonesia menjadi negara
peringkat ketiga, setelah Cina dan India, yang percepatan kasus HIV/AIDS-nya
tertinggi di Asia.
2. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui definisi AIDS.
2. Untuk mengetahui etiologi/penyebab AIDS
3. Untuk mengetahui cara penularan AIDS
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis pada
klien AIDS
5. Untuk mengetahui patofisiologi AIDS
6. Untuk mengetahui pathway AIDS
7. Untuk mengetahui komplikasi klien dengan
AIDS
8. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik
pada klien AIDS
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis,
keperawatan dan diet pada klien AIDS
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom
yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus
HIV. Pengertian AIDS menurut beberapa ahli antara lain:
1. AIDS adalah infeksi oportunistik yang
menyerang seseorang dimana mengalami penurunan sistem imun yang mendasar ( sel
T berjumlah 200 atau kurang )dan memiliki antibodi positif terhadap HIV.
(Doenges, 1999)
2. AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis
tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. (Sylvia, 2005)
B. ISIDENSI
Statistik Kasus AIDS di Indonesia dilapor s/d Maret 2012 (Sumber : Ditjen
PP & PL Kemenkes RI)
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Jenis Kelamin
Jenis
Kelamin
|
AIDS
|
Laki-laki
|
20665
|
Perempuan
|
8339
|
Tak
Diketahui
|
304
|
Jumlah
|
29308
|
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko
Faktor
Risiko
|
AIDS
|
Heteroseksual
|
17267
|
Homo-Biseksual
|
948
|
Penasun
|
10165
|
Transfusi
Darah
|
70
|
Transmisi
Perinatal
|
846
|
Tak
Diketahui
|
1134
|
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur
Golongan
Umur
|
AIDS
|
<1
|
273
|
1 – 4
|
419
|
5 – 14
|
200
|
15 – 19
|
1077
|
20 – 29
|
13223
|
30 – 39
|
9026
|
40 – 49
|
2926
|
49 – 59
|
923
|
>60
|
236
|
Tak
Diketahui
|
1005
|
C. ETIOLOGI
HIV yang dahulu disebut
virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenapati
(LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus.
Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat
(DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV -1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik,
dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh dunia.
Genom HIV mengode
sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus. Dari segi
struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan yaitu bahwa protein HIV-1,
Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya diganti oleh protein Vpx pada
HIV-2. Vpx meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan
duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan transkripsi
virus. HIV-2, yang pertama kali diketahui dalam serum dari para perempuan
Afrika barat (warga senegal) pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis
tetapi tampaknya kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1 (Sylvia, 2005)
1. Cara Penularan
Cara penularan AIDS (
Arif, 2000 )antara lain sebagai berikut :
a. Hubungan seksual, dengan risiko penularan 0,1-1% tiap hubungan seksual
b. Melalui darah, yaitu:
· Transfusi darah yang mengandung HIV,
risiko penularan 90-98%
· Tertusuk jarum yang mengandung HIV,
risiko penularan 0,03%
· Terpapar mukosa yang mengandung
HIV,risiko penularan 0,0051%
· Transmisi dari ibu ke anak :
a. Selama kehamilan
b. Saat persalinan, risiko penularan 50%
c. Melalui air susu ibu(ASI)14%
D. PATOFISIOLOGI
Penyakit AIDS disebabkan
oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara 10 minggu sampai 10
tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan
gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan
mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu
singkat, virus HIVmenyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi
infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang
disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan
sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru
kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada
limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat
di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang
memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong.
Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada
sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik),
yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing.
Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi
kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang
terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama
beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak
800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV,
jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa
menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di
dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam
darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita.
Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut.
Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu
dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2
tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis.
Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap
infeksi.
Infeksi HIV juga
menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan
antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan.
Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami
penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai
infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit
CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam
mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah virus HIVmasuk
ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan sebelum titer antibodi
terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode jendela” (window period).
Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih kurang 1-20 bulan,
namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap positif (fase ini
disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS
yang lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi
HIVsampai menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang
lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV positif. (Heri : 2012
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostic
untuk penderita AIDS (Arif Mansjoer, 2000) adalah
1. Lakukan anamnesi gejala infeksi
oportunistik dan kanker yang terkait dengan AIDS.
2. Telusuri perilaku berisiko yang
memmungkinkan penularan.
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda
infeksi oportunistik dan kanker terkait. Jangan lupa perubahan kelenjar,
pemeriksaan mulut, kulit, dan funduskopi.
4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah
limfosot total, antibodi HIV, dan pemeriksaan Rontgen.
Bila hasil pemeriksaan
antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah CD4, protein purufied
derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi sitomegalovirus, serologi PMS,
hepatitis, dan pap smear.
Sedangkan pada
pemeriksaan follow up diperiksa jumlah
CD4. Bila >500 maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila
jumlahnya 200-500 maka diulang tiap 3-6 bulan, dan bila <200 diberikan
profilaksi pneumonia pneumocystis carinii. Pemberian profilaksi INH tidak
tergantung pada jumlah CD4.
Perlu juga dilakukan
pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal pemberian obat antiretroviral dan
memantau hasil pengobatan.
Bila tidak tersedia
peralatan untuk pemeriksaan CD4 (mikroskop fluoresensi atau flowcytometer)
untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus CD4 = (1/3 x jumlah limfosit total)-8.
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Apabila terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu (Endah Istiqomah : 2009) :
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan
menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial,
atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi
bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
dilingkungan perawatan kritis.
b.
Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987)
untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini
menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan
menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang
jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru
yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus /
memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
– Didanosine
– Ribavirin
– Diedoxycytidine
– Recombinant CD 4
dapat larut
d.
Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun
dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus
perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan
penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
2. Diet
Penatalaksanaan diet
untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalah
a. Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS
adalah:
· Memberikan intervensi
gizi secara cepat dengan mempertimbangkan seluruh aspek dukungan gizi pada
semua tahap dini penyakit infeksi HIV.
·Mencapai dan
mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang diharapkan, terutama
jaringan otot (Lean Body Mass).
·Memenuhi kebutuhan
energy dan semua zat gizi.
· Mendorong perilaku
sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan relaksasi.
b. Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS
adalah:
·Mengatasi gejala
diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.
·Meningkatkan kemampuan
untuk memusatkan perhatian, yang terlihat pada: pasien dapat membedakan antara
gejala anoreksia, perasaan kenyang, perubahan indra pengecap dan kesulitan
menelan.
·Mencapai dan
mempertahankan berat badan normal.
·Mencegah penurunan
berat badan yang berlebihan (terutama jaringan otot).
·Memberikan kebebasan
pasien untuk memilih makanan yang adekuat sesuai dengan kemampuan makan dan
jenis terapi yang diberikan.
c. Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:
·Energi tinggi. Pada
perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor stres, aktivitas fisik, dan
kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk setiap kenaikan Suhu
1°C.
·Protein tinggi, yaitu
1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan sel tubuh yang rusak.
Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan
ginjal dan hati.
·Lemak cukup, yaitu 10
– 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak disesuaikan dengan toleransi
pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak, digunakan lemak dengan ikatan rantai
sedang (Medium Chain Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak omega 3)
diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.
·Vitamin dan Mineral
tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi yang di anjurkan (AKG),
terutama vitamin A, B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium, Seng dan Selenium.
Bila perlu dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus
dihindari karena dapat menekan kekebalan
tubuh.
·Serat cukup; gunakan
serat yang mudah cerna.
·Cairan cukup, sesuai
dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan gangguan fungsi menelan, pemberian
cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap dengan konsistensi yang sesuai.
Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick fluid), semi kental (semi
thick fluid) dan cair (thin fluid).
· Elektrolit.
Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti (natrium, kalium
dan klorida).
·Bentuk makanan
dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini sebaiknya dilakukan dengan
cara pendekatan perorangan, dengan melihat kondisi dan toleransi pasien.
Apabila terjadi penurunan berat badan yang cepat, maka dianjurkan pemberian
makanan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama atau makanan selingan.
·Makanan diberikan
dalam porsi kecil dan sering.
· Hindari makanan yang
merangsang pencernaan baik secara mekanik, termik, maupun kimia.
d. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Diet AIDS diberikan
pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu kepada pasien dengan:
a) Infeksi HIV positif tanpa gejala.
b) Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare, kesulitan
menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).
c) Infeksi HIV dengan gangguan saraf.
d) Infeksi HIV dengan TBC.
e) Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.
Makanan untuk pasien
AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral, enteral(sonde) dan
parental(infus). Asupan makanan secara oral sebaiknya dievaluasi secara rutin.
Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan enteral atau parental
sebagai tambahan atau sebagai makanan utama. Ada tiga macam diet AIDS yaitu
Diet AIDS I, II dan III.
1) Diet AIDS I
Diet AIDS I diberikan
kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala panas tinggi, sariawan, kesulitan
menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran menurun, atau segera setelah
pasien dapat diberi makan.Makanan berupa cairan dan bubur susu, diberikan
selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi kecil setiap 3
jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan dalam bentuk sonde atau
dalam bentuk kombinasi makanan cair dan makanan sonde. Makanan sonde dapat
dibuat sendiri atau menggunakan makanan
enteral komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat
besi, tiamin dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat
ditambahkan glukosa polimer (misalnya polyjoule).
2) Diet AIDS II
Diet AIDS II diberikan
sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap akut teratasi. Makanan diberikan
dalam bentuk saring atau cincang setiap 3 jam. Makanan ini rendah nilai gizinya
dan membosankan. Untuk memenuhi kebutuhan energy dan zat gizinya, diberikan
makanan enteral atau sonde sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
3) Diet AIDS III
Diet AIDS III diberikan
sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada pasien dengan infeksi HIV
tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa, diberikan dalam porsi kecil dan
sering. Diet ini tinggi energy, protein, vitamin dan mineral. Apabila kemampuan
makan melalui mulut terbatas dan masih terjadi
penurunan berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai
makanan tambahan atau makanan utama.
G . ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan
untuk penderita AIDS (Doenges, 1999) adalah
1. Aktivitas / istirahat.
Mudah lelah,
berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, malaise
2. Sirkulasi.
Takikardia , perubahan
TD postural, pucat dan sianosis.
3. Integritas ego.
Alopesia , lesi cacat,
menurunnya berat badan, putus asa, depresi, marah, menangis.
4. Elimiinasi.
Feses encer, diare
pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal, abses rektal.
5. Makanan / cairan.
Disfagia, bising usus,
turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, kesehatan gigi / gusi yang buruk,
dan edema.
6. Neurosensori.
Pusing, kesemutan pada
ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan respon melambat.
7. Nyeri / kenyamanan.
Sakit kepala, nyeri
pada pleuritis, pembengkakan pada sendi, penurunan rentang gerak, dan gerak
otot melindungi pada bagian yang sakit.
8. Pernafasan.
Batuk, Produktif / non produktif, takipnea, distres pernafasan
H.
Diagnosa keperawatan
- nyeri berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan jaringan ditandai dengan keluhan nyeri, perubahan denyut nadi, kejang otot, ataksia, lemah otot dan gelisah.
- perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh dihubungkan dengan gangguan intestinal ditandai dengan penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, kejang perut, bising usus hiperaktif, keengganan untuk makan, peradangan rongga bukal.
- resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat
- resiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi dan ketidak seimbangan muskuler (melemahnya otot-otot pernafasan)
- Intoleransi aktovitas berhubungan dengan penurunan produksi metabolisme ditandai dengan kekurangan energy yang tidak berubah atau berlebihan, ketidakmampuan untuk mempertahankan rutinitas sehari-hari, kelesuan, dan ketidakseimbangan kemampuan untuk berkonsentrasi.
I. Intervensi dan Rasional Tindakan Keperawatan.
Diagnosa, intervensi
dan rasional tindakan keperawatan (Doenges, 1999) adalah
1. Diagnosis Keperawatan : nyeri berhubungan
dengan inflamasi/ kerusakan jaringan ditandai dengan keluhan nyeri, perubahan
denyut nadi, kejang otot, ataksia, lemah otot dan gelisah.
Hasil yang
diharapkan : keluhan hilang, menunjukkan ekspresi wajah
rileks,dapat tidur atau beristirahat secara adekuat.
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
- Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas, frekuensi dan waktu. Tandai gejala nonverbal misalnya gelisah, takikardia, meringis.
Mengindikasikan
kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda perkembangan komplikasi.
- Instruksikan pasien untuk menggunakan visualisasi atau imajinasi, relaksasi progresif, teknik nafas dalam.
Meningkatkan relaksasi
dan perasaan sehat.
- Dorong pengungkapan perasaan
Dapat mengurangi
ansietas dan rasa sakit, sehingga persepsi akan intensitas rasa sakit.
- Berikan analgesik atau antipiretik narkotik. Gunakan ADP (analgesic yang dikontrol pasien) untuk memberikan analgesia 24 jam.
Memberikan penurunan
nyeri/tidak nyaman, mengurangi demam. Obat yang dikontrol pasien berdasar waktu
24 jam dapat mempertahankan kadar analgesia darah tetap stabil, mencegah
kekurangan atau kelebihan obat-obatan.
- Lakukan tindakan paliatif misal pengubahan posisi, masase, rentang gerak pada sendi yang sakit.
Meningkatkan relaksasi
atau menurunkan tegangan otot.
2. Diagnosis keperawatan : perubahan nutrisi
yang kurang dari kebutuhan tubuh dihubungkan dengan gangguan intestinal
ditandai dengan penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, kejang perut,
bising usus hiperaktif, keengganan untuk makan, peradangan rongga bukal.
Hasil yang diharapkan :
mempertahankan berat badan atau memperlihatkan peningkatan berat badan
yang mengacu pada tujuan yang diinginkan, mendemostrasikan keseimbangan
nitrogen positif, bebas dari tanda-tanda malnutrisi dan menunjukkan perbaikan
tingkat energy.
INTERIVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
- Kaji kemampuan untuk mengunyah, perasakan dan menelan.
Lesi mulut, tenggorok
dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien untuk
mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.
- Auskultasi bising usus
Hopermotilitas saluran
intestinal umum terjadi dan dihubungkan dengan muntah dan diare, yang dapat
mempengaruhi pilihan diet atau cara makan.
- Rencanakan diet dengan orang terdekat, jika memungkinakan sarankan makanan dari rumah. Sediakan makanan yang sedikit tapi sering berupa makanan padat nutrisi, tidak bersifat asam dan juga minuman dengan pilihan yang disukai pasien. Dorong konsumsi makanan berkalori tinggi yang dapat merangsang nafsu makan
Melibatkan orang
terdekat dalam rencana member perasaan control lingkungan dan mungkin
meningkatkan pemasukan. Memenuhi kebutuhan akan makanan nonistitusional mungkin
juga meningkatkan pemasukan.
- Batasi makanan yang menyebabkan mual atau muntah. Hindari menghidangkan makanan yang panas dan yang susah untuk ditelan
Rasa sakit pada mulut
atau ketakutan akan mengiritasi lesi pada mulut mungkin akan menyebabakan
pasien enggan untuk makan. Tindakan ini akan berguna untuk meningkatakan
pemasukan makanan.
- Tinjau ulang pemerikasaan laboratorium, misal BUN, Glukosa, fungsi hepar, elektrolit, protein, dan albumin.
Mengindikasikan status
nutrisi dan fungsi organ, dan mengidentifikasi kebutuhan pengganti.
- Berikan obat anti emetic misalnya metoklopramid.
Mengurangi insiden
muntah dan meningkatkan fungsi gaster
3.
Diagnosa keperawatan : resiko
tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat
Hasil yang
diharapkan : mempertahankan
hidrasi dibuktikan oleh membrane mukosa lembab, turgor kulit baik, tanda-tanda
vital baik, keluaran urine adekuat secara pribadi.
INTERVESI KEPERAWATAN
RASIONAL
- Pantau pemasukan oral dan pemasukan cairan sedikitnya 2.500 ml/hari.
Mempertahankan
keseimbangan cairan, mengurangi rasa haus dan melembabkan membrane mukosa.
- Buat cairan mudah diberikan pada pasien; gunakan cairan yang mudah ditoleransi oleh pasien dan yang menggantikan elektrolit yang dibutuhkan, misalnya Gatorade.
Meningkatkan pemasukan
cairan tertentu mungkin terlalu menimbulkan nyeri untuk dikomsumsi karena lesi
pada mulut.
- Kaji turgor kulit, membrane mukosa dan rasa haus.
Indicator tidak
langsung dari status cairan.
- Hilangakan makanan yang potensial menyebabkan diare, yakni yang pedas, berkadar lemak tinggi, kacang, kubis, susu. Mengatur kecepatan atau konsentrasi makanan yang diberikan berselang jika dibutuhkan
Mungkin dapat
mengurangi diare
- Berikan obat-obatan anti diare misalnya ddifenoksilat (lomotil), loperamid Imodium, paregoric.
Menurunkan jumlah dan
keenceran feses, mungkin mengurangi kejang usus dan peristaltis.
4. Diagnosa
keperawatan : resiko tinggi pola nafas
tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi dan ketidak seimbangan muskuler
(melemahnya otot-otot pernafasan)
Hasil
yang diharapkan : mempertahankan
pola nafas efektif dan tidak mengalami sesak nafas.
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
- Auskultasi bunyi nafas, tandai daerah paru yang mengalami penurunan, atau kehilangan ventilasi, dan munculnya bunyi adventisius. Misalnya krekels, mengi, ronki.
Memperkirakan adanya
perkembangan komplikasi atau infeksi pernafasan, misalnya pneumoni,
- Catat kecepatan pernafasan, sianosis, peningkatan kerja pernafasan dan munculnya dispnea, ansietas
Takipnea, sianosis,
tidak dapat beristirahat, dan peningkatan nafas, menuncukkan kesulitan
pernafasan dan adanya kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan atau intervensi
medis
- Tinggikan kepala tempat tidur. Usahakan pasien untuk berbalik, batuk, menarik nafas sesuai kebutuhan.
Meningkatkan fungsi
pernafasan yang optimal dan mengurangi aspirasi atau infeksi yang ditimbulkan
karena atelektasis.
- Berikan tambahan O2 Yng dilembabkan melalui cara yang sesuai misalnya kanula, masker, inkubasi atau ventilasi mekanis
Mempertahankan
oksigenasi efektif untuk mencegah atau memperbaiki krisis pernafasan
5.
Diagnose keperawatan :
Intoleransi aktovitas berhubungan dengan penurunan produksi metabolisme
ditandai dengan kekurangan energy yang tidak berubah atau berlebihan,
ketidakmampuan untuk mempertahankan rutinitas sehari-hari, kelesuan, dan
ketidakseimbangan kemampuan untuk berkonsentrasi.
Hasil yang
diharapkan : melaporkan
peningkatan energy, berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan dalam
tingkat kemampuannya.
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
- Kaji pola tidur dan catat perunahan dalam proses berpikir atau berperilaku
Berbagai factor dapat
meningkatkan kelelahan, termasuk kurang tidur, tekanan emosi, dan efeksamping
obat-obatan
- Rencanakan perawatan untuk menyediakan fase istirahat. Atur aktifitas pada waktu pasien sangat berenergi
Periode istirahat yang
sering sangat yang dibutuhkan dalam memperbaiki atau menghemat energi.
Perencanaan akan membuat pasien menjadi aktif saat energy lebih tinggi,
sehingga dapat memperbaiki perasaan sehat dan control diri.
- Dorong pasien untuk melakukan apapun yang mungkin, misalnya perawatan diri, duduk dikursi, berjalan, pergi makan
Memungkinkan
penghematan energy, peningkatan stamina, dan mengijinkan pasien untuk lebih
aktif tanpa menyebabkan kepenatan dan rasa frustasi.
- Pantau respon psikologis terhadap aktifitas, misal perubahan TD, frekuensi pernafasan atau jantung
Toleransi bervariasi
tergantung pada status proses penyakit, status nutrisi, keseimbangan cairan,
dan tipe penyakit.
- Rujuk pada terapi fisik atau okupasi
Latihan setiap hari
terprogram dan aktifitas yang membantu pasien mempertahankan atau meningkatkan
kekuatan dan tonus otot
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
AIDS adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul
karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.
2.
Etiologi AIDS disebabkan oleh virus HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus
sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh dunia.
3.
Cara penularan AIDS yaitu melalui hubungan seksual, melalui darah (
transfuse darah, penggunaan jarum suntik dan terpapar mukosa yang mengandung
AIDS), transmisi dari ibu ke anak yang mengidap AIDS.
.
B. SARAN
Berdasarkan simpulan di
atas, penulis mempunyai beberapa saran, diantaranya adalah :
1.
Agar pembaca dapat mengenali tentang pengertian
AIDS.
2.
Agar pembaca dapat menerapkan asuhan keperawatan
AIDS pada klien AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Heri.”Asuhan Keperawatan
HIV/AIDS”,(Online),(http://mydocumentku.blogspot.
com/2012/03/asuhan-keperawatan-hivaids.html, diakses 20 Oktober 2012)
Istiqomah, Endah.”Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan HIV/AIDS”,(Online) ,(http://ndandahndutz.blogspot.com/2009/07/asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan.html,
diakses 20 Oktober 2012)
Mansjoer, Arif . 2000 .
Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta : Media Sculapius
Marilyn , Doenges , dkk . 1999 . Rencana Asuhan
Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien .
Jakarta : EGC
Price , Sylvia A dan Lorraine M.Wilson . 2005 .
Patofissiologis Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit . Jakarta : EGC
UGI.2012.”Diet Penyakit
HIV/AIDS”,(Online),(http://ugiuntukgiziindonesia. blogspot.com/2012/05/diet-penyakit-hivaids.html,
diakses 20 Oktober 2012)
Comments
Post a Comment